Ibnu Jazla


Perkembangan ilmu kedokteran memantik kemunculan sosok dokter mumpuni. Demikian pula di dunia Islam. Silih berganti sosok dokter yang sangat menguasai ilmunya muncul dan meninggalkan jejak keilmuan yang diakui banyak kalangan.
Bahkan, pengaruh karya-karya mereka menembus batas-batas wilayah. Sebab, banyak di antara karya mereka yang menjadi rujukan dan kemudian diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Salah satu sosok ternama itu adalah Abu Ali Yahya ibn Isa Ibn Jazla Al Baghdadi.
Namun, ia lebih dikenal dengan nama Ibn Jazla atau Buhahylyha Bingezla dalam bahasa Latin. Jazla merupakan salah satu dokter ternama di Baghdad, Irak, yang hidup pada abad ke-11. Semula, ia adalah pemeluk Kristen Nestor. Namun, pada akhirnya, ia memutuskan menanggalkan keyakinannya itu dan memilih Islam sebagai keyakinan hidupnya pada 1074 Masehi.
Langkah ini ditempuh Jazla setelah ia menjalin interaksi dengan gurunya yang bernama Mu’tazili Abu-Ali Ibn al-Walid. Selain memahami benar ilmu kedokteran, ia menuliskan semua pemahamannya itu ke dalam sejumlah karya yang akhirnya membuat namanya kian berkibar.
Paling tidak, ada tiga karya Jazla yang memiliki pengaruh besar dalam bidang kedokteran. Tak hanya di Baghdad, tetapi juga melintas ke wilayah dan negara lain. Ia menulis Taqwim al-Abdan fi Tadbir al-Insan. Buku ini diterjemahkan dalam bahasa Latin.
Tak heran jika buku ini dikenal dengan nama lain, Dispositio Corporum de Constittutione Hominis, Tacuin Agritudinum. Melalui buku ini, Jazla menyusun tabel beragam penyakit. Ia menyusunnya seperti yang dilakukan astronom dalam menyusun nama bintang dalam tabel.
Daftar penyakit yang tersusun dalam sebuah tabel ini memudahkan orang mengelompokkan satu penyakit dengan penyakit lainnya. Terkait penyusunan tabel penyakit ini, ada kisah yang mengungkapkan bahwa Jazla merupakan salah satu dokter penguasa Eropa, Charlemagne.
Bahkan, penyusunan tabel atau tacuin yang dilakukan Jazla itu atas dorongan Charlemagne. Namun, sejumlah ilmuwan membantah cerita tersebut dan menyebutnya sebagai cerita yang tak memiliki dasar sejarah. Sebab, Jazla lahir lebih dulu dibandingkan Charlemagne.
Pada masa berikutnya, tabel yang disusun Jazla ini diterjemahkan pula oleh seorang ilmuwan Yahudi bernama Faraj ben Salim. Versi Latin dari terjemahan tersebut diterbitkan pada 1532 Masehi. Ada pula terjemahannya dalam bahasa Jerman. Terjemahan dalam bahasa tersebut diterbitkan oleh Hans Schotte di Strasbourg pada 1533 Masehi.
Dalam Taqwim, Jazla tak hanya menyusun tabel penyakit, tetapi juga membuat tabel tanaman dan obat yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit.

Ada 44 tabel yang menguraikan sebanyak 325 penyakit. Ia pun membubuhi penjelasan perinci mengenai penyebab dan gejala setiap penyakit. Jazla menyusun tabel penyakit, penyebab, dan gejalanya dalam satu halaman. Sedangkan, pada halaman yang berha -dapan dengan halaman tersebut, ia menjelaskan langkah yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut.
John Canning, yang memiliki manuskrip Taqwim karya Jazla tersebut, mengungkapkan, pada tabel 16, Jazla menjelaskan penyakit yang menyerang otak dan bagian-bagian mana saja yang biasanya didera penyakit. Ia melengkapinya dengan jenis obat yang bisa menyudahi penyakit itu.
Jazla juga menulis Al Minhaj fi Al Adwiah Al Murakkabah atau Metodologi Peracikan Obat. Karya ini pun memiliki pengaruh luas dalam bidang kedokteran dan pengaruhnya tak hanya dirasakan di Baghdad. Sebab, tulisan Jazla ini diterjemahkan oleh Jambolinus .
Dalam terjemahan Latin, karya ini dikenal dengan judul Cibis et Medicines Simplicibus. Seperti Taqwim, karya ini juga menorehkan pengaruh besar dalam ilmu kedokteran. Dua karya Jazla, yaitu Minhaj dan Taqwim, ia dedikasikan kepada Khalifah Abbasiyah, Al Muqtadi bi Amr Allah.
Menjelang akhir hayatnya, Jazla menulis sebuah risalah yang mengisahkan kehidupan pribadinya, terutama soal kehidupan spiritualnya, berjudul Al Radd ala al Nasara. Dalam risalah itu, ia menggambarkan keputusan nya untuk memeluk Islam.
Jazla menyatakan pujian terhadap Islam dan menjelaskan keunggulan ajaran tersebut. Di sisi lain, ia melayangkan kritiknya terhadap ajaran Kristen dan Yahudi. Selain mendapatkan reputasi melalui karya besarnya, ia terus berpraktik sebagai seorang dokter di wilayah Al Kharkh, Baghdad.
Dalam praktik, Jazla merupakan dokter bertangan dingin. Ia tenar karena sering mampu menyembuhkan penyakit yang diderita pasiennya. Tak heran bila ia memiliki banyak pasien. Para pasien silih berganti berdatangan ke tempat praktiknya di Al Kharkh, memercayakan penanganan penyakit yang dideritanya kepada Jazla.
Perilaku Jazla kerap pula menjadi buah bibir. Sebab, ia sering mengobati tetangga dan teman-temannya tanpa menarik bayaran. Ia seorang dermawan. Setelah melintasi masa, ia mengembuskan napas terakhir pada 1100 Masehi. Saat itu, ia berada di bawah perlindungan Abu `Ali ibn Al-Walid Al-Maghribi. ed: ferry

Jazla dan Perkembangan Ilmu Kedokteran
Persentuhan Ibn Jazla dengan bidang kedokteran tak lepas dari berkembang pesatnya tradisi ilmu pengetahuan di dunia Islam. Setelah berdirinya Dinasti Abbasiyah pada abad ke-8 yang berpusat di Kota Baghdad, kota tersebut menggeliat sebagai pusat ilmu pengetahuan.
Khalifah Harun Al Rasyid mendorong penerjemahan teks-teks medis, terutama dari Yunani ke dalam bahasa Arab. Ini memperkaya perkembangan ilmu pengetahuan di Baghdad, termasuk bagi Ibn Jazla, dalam mengembangkan kariernya sebagai dokter dan menulis karyanya.
Menurut pakar sejarah tentang pengaruh Islam di Eropa, Profesor Charles Burnett, dari Warburg Institute, University of London, pada akhir abad ke-10 teks-teks Yunani mengalami percampuran dengan ilmu-ilmu yang lahir di dunia Islam.
Pada masa selanjutnya, ilmu yang dikembangkan di dunia Islam memberikan pengaruhnya tak hanya di wilayah sendiri, tetapi juga ke Barat. Dokter-dokter Muslim mampu mengembangkan secara mandiri ilmu pengetahuan kedokterannya.
Bahkan, mereka melontarkan ba nyak ide yang sama sekali baru dan ori sinal. Buktinya, Jazla menuliskan karya-karya yang kemudian diterje mah kan ke bahasa Latin. Pada abad ke-11, ujar Burnett, perkembangan ilmu ke dok teran tak hanya berkutat di Baghdad.
Namun, ilmu kedokteran juga tumbuh pesat di Kairouan, Tunisia. Di sana, ada Constantine the African yang mulai melakukan perjalanan ke Sisilia dan Salerno, Italia. Di Italia, untuk pertama kalinya, Constantine the African memperkenalkan pengobatan Arab ke Barat.
Apa yang diajarkan oleh Constantine menggantikan teks-teks Yunani yang sebelumnya menjadi rujukan. Ia telah memberikan kontribusi besar bagi perkembangan pengobatan di Italia. Bahkan, pengaruh ini berlangsung begitu lama.
Di Inggris, misalnya, pada awal abad ke-18, muncul ketertarikan terhadap praktik pengobatan yang berkembang di Timur. Salah satunya adalah praktik inokulasi yang digunakan untuk mengatasi penyakit cacar.