Did You Know...?
""

Home » » Neurosains Kognitif

Neurosains Kognitif

 
Merupakan sebuah bidang akademis yang mempelajari secara ilmiah substrat biologis dibalik kognisi (Gazzaniga et al, 2002), dengan fokus khusus pada substrat syaraf dari proses mental. Ia membahas pertanyaan bagaimana fungsi psikologis/kognitif dihasilkan oleh otak. Neurosains kognitif adalah cabang psikologi maupun neurosains, bertindihan dengan disiplin seperti psikologi fisiologis, psikologi kognitif dan neuropsikologi (Gazzaniga et al, 2002 : xv). Neurosains kognitif bertopang pada teori-teori dalam sains kognitif diselaraskan dengan bukti dari neuropsikologi dan pemodelan komputasional (Ibid).
Karena sifatnya yang multidisiplin, para ilmuan neurosains kognitif dapat memiliki bermacam latar belakang. Selain disiplin yang berkaitan di atas, ilmuan neurosains kognitif dapat berasal dari latar belakang neurobiologi, rekayasa biologi, psikiatri, neurologi, fisika, sains komputer, linguistik, filsafat dan matematika.
Metode yang diterapkan dalam neurosains kognitif adalah paradigma eksperimental dari psikofisika dan psikologi kognitif, elektrofisiologi, genomik kognitif dan genetika perilaku. Studi pasien dengan gangguan kognitif karena lesi otak merupakan aspek penting dalam neurosains kognitif. Pendekatan teoritis antara lain neurosains komputasional dan psikologi kognitif.

 

Asal usul Historis

Pusat neurosains kognitif adalah pandangan kalau fungsi kognitif tertentu berkaitan dengan daerah tertentu di otak. Pandangan ini muncul dari beragam teori. Gerakan frenologis gagal memasok landasan ilmiah untuk teori mereka dan telah ditolak. Walau begitu, asumsi utama frenologis kalau daerah tertentu di otak berkaitan dengan fungsi tertentu masih berlaku, walau pengukuran tengkorak masa kini dilakukan secara elektrofisiologi, dan apa yang diukur lebih berhubungan dengan otak daripada penampakan tengkorak luar.
Sebuah halaman dari American Phrenological Journal

Frenologi

Akar pertama neurosaisn kognitif berada pada frenologi, yang merupakan pendekatan pseudoilmiah yang mengklaim kalau perilaku dapat ditentukan oleh bentuk tulang. Pada awal abad ke-19, Franz Joseph Gall dan J. G. Spurzheim percaya kalau otak manusia terlokalisasi dalam sekitar 35 bagian. Dalam bukunya, The Anatomy and Physiology of the Nervous System in General, and of the Brain in Particular, Gall mengklaim bahwa tonjolan besar di salah satu bagian ini berarti daerah otak tersebut lebih sering digunakan oleh orang tersebut. Teori ini mendapat perhatian publik, membawa pada publikasi jurnal frenologi dan penciptaan frenometer, yang mengukur tonjolan di kepala subjek manusia.

Pandangan medan agregat

Pierre Flourens, seorang psikolog eksperimental, adalah satu dari beberapa ilmuan yang menantang pandangan frenologis ini. Melalui studi pada kelinci dan merpati hidup, ia menemukan kalau lesi pada daerah tertentu di otak tidak merubah perilaku secara signifikan. Ia mengajukan teori kalau otak adalah sebuah medan agregat, yang berarti bahwa berbagai daerah di otak ikut serta dalam membentuk perilaku.

Pandangan Lokalisasionis

Studi yang dilakukan di Eropa oleh para ilmuan seperti John Hughlings Jackson menyebabkan pandangan lokalisasionis muncul kembali sebagai pandangan utama perilaku. Jackson mempelajari para pasien dengan kerusakan otak, khususnya epilepsi. Ia menemukan kalau pasien epileptik sering membuat gerakan otot klonik dan tonik yang sama pada saat kejang, membawa Jackson untuk percaya kalau itu pasti terjadi di lokasi yang sama setiap saat. Jackson mengajukan kalau fungsi khusus terlokalisasi pada daerah khusus di otak (Enersen, 2009) yang kritis bagi pemahaman selanjutnya mengenai lobus-lobus otak.

Kemunculan neuropsikologi

Daerah Broca dan daerah Wernicke.
Tahun 1861, neurolog perancis Paul Broca menemukan orang yang mampu memahami bahasa namun tidak dapat berbicara. Orang ini hanya dapat menghasilkan suara “tan”. Kemudian ditemukan kalau manusia ini memiliki kerusakan otak di lobus frontal kirinya yang disebut daerah Broca. Carl Wernicke, seorang neurolog jerman, menemukan pasien yang sama, kecuali pasiennya kali ini dapat bicara dengan baik namun tidak dapat mengerti. Pasien ini adalah korban dari stroke, dan tidak dapat memahami bahasa lisan maupun tulisan. Pasien ini memiliki lesi di daerah pertemuan lobus temporal dan parietal kiri, yang kini disebut daerah Wernicke. Kasus ini mendukung dengan kuat pandangan lokalisasionis, karena sebuah lesi menyebabkan perubahan perilaku khusus pada kedua pasien ini. Studi Broca dan Wernicke menyemai bidang penelitian baru, yang mempelajari hubungan antara fenomena psikologis dengan lesi (atau gangguan lainnya) dari otak : neuropsikologi.

Pemetaan Otak

Tahun 1870, dua orang ahli fisiologi Jerman, Eduard Hitzig dan Gustav Fritsch menerbitkan penemuan mereka tentang perilaku hewan. Hitzig dan Fritsch mengirim arus listrik lewat korteks serebral seekor anjing, dan menyebabkan anjing tersebut membuat gerakan karakteristik berdasarkan lokasi dimana arus tersebut diberikan. Karena berbagai daerah berbeda di otak menghasilkan gerakan yang berbeda, mereka menyimpulkan kalau perilaku tersebut berakar pada level seluler. Neuroanatomis jerman Korbinian Brodmann menggunakan teknik penandaan jaringan yang dikembangkan oleh Franz Nissl untuk melihat berbagai tipe sel di otak. Lewat studi ini, Brodmann menyimpulkan tahun 1909 kalau otak manusia terdiri dari 52 daerah berbeda, sekarang disebut daerah Brodmann. Banyak perbedaan yang ditemukan Brodmann ternyata sangat akurat, seperti membedakan daerah Brodmann 17 dan daerah Brodmann 18.

Doktrin Neuron

 

Pada awal abad 20, Santiago Ramon y Cajal dan Camillo Golgi mulai mempelajari struktur neuron. Golgi mengembangkan metode penandaan perak yang dapat sepenuhnya menandai beberapa sel di daerah tertentu, membawanya pada keyakinan kalau neuron terkait langsung satu sama lain dalam satu sitoplasma. Cajal menantang pandangan ini karena daerah yang ditandai di otak memiliki myelin yang lebih sedikit dan menemukan kalau neuron adalah sel yang diskrit. Cajal juga menemukan kalau sel ini mengirim sinyal listrik ke neuron hanya pada satu arah saja. Baik Golgi maupun Cajal dianugerahi Hadiah Nobel untuk Fisiologi atau Kedokteran tahun 1906 atas penelitian pada doktrin neuron ini. Doktrin neuron kemudian memberikan teori dasar dalam memahami neurofisiologi.

Kelahiran Sains Kognitif

Tanggal 11 september 1956, sebuah pertemuan ahli kognitif yang besar terjadi di MIT. George A Miller menyajikan papernya yang berjudul “The Magical Number Seven, Plus or Minus Two” sementara Noam Chomsky dan Newell dan Simon menyajikan temuan mereka dalam sains komputer. Ulrich Neisser memberi komentar pada banyak penemuan dalam pertemuan ini dalam bukunya tauhn 1967 berjudul Cognitive Psychology. Istilah “psikologi” telah memudar tahun 1950an dan 1960an, dan membuat bidang ini lebih dikenal sebagai “sains kognitif”. Behavioris seperti Miller mulai berfokus pada representasi bahasa bukan lagi pada perilaku umum. Proposal David Marr mengenai representasi hirarkis ingatan menyebabkan banyak psikologis memeluk gagasan kalau keterampilan mental memerlukan pemprosesan signifikan di otak, termasuk algoritma.

Neurosains Kognitif

Sebelum tahun 1980an, interaksi antara neurosains dan sains kognitif adalah langka. Istilah ‘neurosains kognitif’ dibuat oleh George Miller dan Michael Gazzaniga “di kursi belakang taksi New York City”(Gazzaniga et al, 2002 : 1) pada akhir tahun 1970an. Neurosains kognitif mulai berintegrasi dengan landasan teoritis baru sains kognitif, yang muncul antara tahun 1950an dan 1960an, dengan pendekatan psikologi eksperimental, neuropsikologi dan neurosains. (Neurosains tidak dijadikan disiplin khusus hingga tahun 1971. Pada akhir abad ke-20 teknologi baru berkembang yang sekarang menjadi metodologi utama dalam neurosains kognitif, termasuk TMS (1985) dan fMRI (1991). Metode sebelumnya yang dipakai dalam neurosains kognitif adalah EEG (EEG manusia 1920) dan MEG (1968). Neurosaintis kognitif sering juga memakai metode pencitraan otak lainnya seperti PET dan SPECT. Pada beberapa hewan, perekaman unit tunggal dapat dipakai. Metode lain termasuk mikroneurografi, EMG wajah, dan pelacak mata. Neurosains integratif berusaha mengkonsolidasikan data dalam database, dan membentuk model deskriptif terpadu dari beragam bidang dan skala: biologi, psikologi, anatomi dan praktek klinis.
Share this article :